DESA DAN PADI DALAM ANCAMAN Studi Kasus : Desa Tirtonirmolo

Praktis setelah proklamasi tahun 1945, Indonesia sebagai sebuah Negara mau tidak mau harus memikirkan pembangunan kehidupan masyarakat atau manusianya, di samping pembangunan fisik guna mendukung kokohnya Negara. Banyak aspek dalam membangun kehidupan masyarakat. Tetapi ada satu aspek yang eksis diperbincangkan hampir setiap dekade, bahkan tidak berlebihan setiap tahun selalu ramai menjadi topik para ilmuwan, peneliti, maupun sarjana-sarjana, yaitu masalah pangan. Sejarah telah mencatat bahwa issue pangan ini selalu ramai dalam perbincangan khusunya padi sebagai salah satu bahan pokok konsumsi masyarakat. Mulai dari Rencana Kemakmuran Kasimo, program Padi Sentra, program Demonstrasi Massal, program Bimbingan Massal, program intensifikasi Massal, program Intensifikasi Khusus, program Supra Intensifikasi Khusus, dan sampai sekarang ini dengan kata yang lebih “serem”, yaitu issue ketahanan pangan.

Kata ketahanan pangan ini sepertinya telah menunjukkan adanya masalah serius di sektor pangan masyarakat. Pada dasarnya, hal ini dikarenakan pangan merupakan salah satu kodrat yang dibutuhkan manusia sebagai sebuah organisme untuk hidup. Oleh karena itu, diperlukan alat produksi yang dapat menghasilkan sumber pangan bagi masyarakat dan negara.

Sebagai sebuah Negara agraris dan maritim. Air dan tanah merupakan alat produksi penghasil pangan paling banyak dimiliki oleh Indonesia yang dapat diberikan kepada rakyatnya. Perlu digarisbawahi bahwa air dan tanah di sini tidak diartikan secara leksikal yang berarti bagian atau anatomi dari bumi yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan manusia. Namun, diartikan sebagai sebuah struktur agraria yang tidak hanya terbatas pada “tanah” (kulit bumi) dan “pertanian”, melainkan “wilayah” yang mewadahi semuanya.[1] Wilayah yang mewadahi semuanya ini mencakup tumbuh-tumbuhan, air, udara, masyarakat (manusia), dan lain sebagainya yang memiliki hubungan di dalam wilayah tersebut.

Manusia dalam lingkup agraria ini memiliki kajian yang lebih kompleks. Hal ini dikarenakan manusia dilihat dalam berbagai aspek, baik sosial-ekonomi, kesatuan ekologi, dan politik. Dalam hubungan sosial-ekonomi adalah sampai mana alat produksi (agraria) mempengaruhi antar manusia dalam struktur agraria, sebagai sumber produksi, konsumsi, distribusi, dan penghasilan masyarakat. Kemudian dalam hubungan ekologi, sampai mana pengaruh alat produksi dalam hubungannya dengan manusia (perilaku produksi). Sementara itu, intervensi Negara menjadi suatu aspek politik yang erat kaitannya dengan kemajuan pengusahaan dan penghasilan alat produksi masyarakat. Berbagai kebijakan dan pengawasan Negara yang telah dilakukan sebelumnya secara intensif guna mendorong peningkatan produksi rakyat haruslah segera dilanutkan dan dibenahi. Dengan demikian diharapkan dapat menanggulangi issue masalah ketahanan pangan yang semakin mencekam.

Alat Produksi : Masalah Ketahanan Pangan

Kekhawatiran masalah pangan dunia telah dimulai sejak diperkenalkannya teori demografi oleh Thomas Robert Malthus (1766-1836). Malthus mengasumsikan bahwa sementara penduduk bertambah secara deret ukur (1, 2, 4, 8, 16…) dalam prakteknya produksi pertanian tidak dapat lebih meningkat lebih cepat daripada deret hitung (1, 2, 3, 4, 5, 6…). Jadi, bila penduduk suatu Negara berjumlah 11 juta akan menjadi dua kali lipat setiap 25 tahun. Sementara itu, bahan makanan hanya bertambah sesuai deret hitung.[2] Dengan demikian, ancaman terhadap ketahanan pangan semakin terbuka.

Terlebih lagi bagi negara-negara dunia ketiga (Negara berkembang) yang menunjukkan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Norman dan Hofstatter menunjukkan bahwa di Negara berkembang pada periode 1975-1980 menunjukkan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 23,6 % / 1000 penduduk. Sehubungan dengan itu, terjadi suatu land stress (tekanan tanah) yang diakibatkan ledakan penduduk, sehingga terjadi pengalihan pemanfaatan lahan pertanian di luar sektor domestiknya. Oleh karena itu, diperlukan “jalan keluar” untuk mengatasi masalah pangan yang banyak bertumpu pada produksi pertanian.

Sebenarnya terdapat banyak jalan keluar, seperti trio-fikasi, yaitu intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi pertanian. Perubahan sistem produksi (agricultural entrepeneurship), sampai industrialisasi. Namun, kunci penting dari semua itu ialah kemauan pemerintah (government will) yang erat kaitannya dengan situasi politik dan kebijakan sang penguasa. Sudah disebutkan di atas, intensifikasi pertanian menjadi program besar dalam mengatasi masalah ketahanan pangan dan mempunyai tujuan supaya Indonesia ber-swasembada pangan.

Dari Revolusi hijau sampai program-program pemerintah, seperti Bimbingan Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas) gencar dilakukan pada masa Pemerintahan Orde Baru. Modernisasi teknologi dari sektor biologis sampai mekanis menjadi sasaran intensifikasi pertanian pada waktu itu. Pengenalan pupuk kimia, pengenalan pembasmi hama (fungisida, herbisida, dan fungisida), pengenalan varitas padi bibit unggul dari IRRI (International Rice Research Institute), mekanisasi alat pertanian, sampai pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi menjadi manifestasi dari introduksi program-program pemerintah. Tambahan lagi, intervensi dan introduksi teknologi tersebut dilakukan dengan pengawasan dan sosialisasi yang intensif.

Pedesaan-pedesaan yang merupakan basis pertanian menjadi lahan subur program-program tersebut, di samping sebagai sebuah counter dari sifat pembangunan sebelumnya yang lebih di label urban-bias. Program Bimas yang terdiri dari Bimas paket A dan B. Perbedaan dari paket tersebut adalah penggunaan varitas PB dan Non-PB,  untuk paket A meliputi wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Utara, Lampung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Bali, sedangkan paket B meliputi DKI Jaya, Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.[3] Hasil program-program yang telah dilaksanakan sejak awal 1970-an ini jika dilihat dari hasil produksi di petak sawah per hektar memang memberikan hasil lebih di banding hasil produksi periode-periode sebelumnya.

Produksi beras Indonesia sejak Orde Baru berangsur-angsur mengalami peningkatan. Selama periode Orde Lama (1959-1965) produksi hanya 8,5 juta ton/tahun, sedangkan pada masa awal Orde Baru (1966-1968) telah mencapai 10 juta ton/tahun, dan pada Pelita IV (1984-1987) menjadi 26,7 juta ton per tahun atau tiga kali lipat dari produksi per tahun di zaman Orde Lama. Dengan hasil produksi rata-rata padi per Ha di Indonesia tahun 1978-1979 sejumlah 2,01-2,03. [4]          

Selain disebabkan faktor dari teknologi di atas, keberhasilan swasembada beras dan peningkatan hasil produksi dipengaruhi pembangunan dan rehabilitasi irigasi atau dalam bahasa Sjofjan Asnawi “Green Revolution tidak akan berhasil tanpa adanya Blue Revolution”. Lester R. Brown dan Erik P. Eckholn mengatakan bahwa pertambahan permintaan pangan yang besar dalam abad ini dan makin mudahnya memperoleh pupuk kimia untuk peningkatan produktivitas sawah telah memberikan dorongan perluasan sawah irigasi di dunia.[5] Indonesia juga telah melakukan perluasan sawah irigasi sejak Pelita I sampai Pelita IV (1969-1988) dengan menunjukkan peningkatan luas areal irigasi mencapai angka > 5 juta Ha.  Hal ini dikarenakan irigasi menjadi syarat utama di dalam pelaksanaan modernisasi teknologi pertanian. Dengan adanya jaringan irigasi yang permanen dan suplai yang cukup dan tepat (timeliness) maka penggunaan pupuk berat maupun teknologi lain untuk peningkatan produksi dapat dilakukan. Dampak dari perluasan tersebut terlihat dari peningkatan produksi yang tajam terjadi antara periode 1976-1982 yakni dari 2,9 ton per Ha menjadi 4,5 ton per Ha. Peningkatan tersebut terjadi di samping perbaikan teknologi produksi juga karena perbaikan keragaan sistem irigasi.[6]

Swasembada beras tahun 1984, pembangunan irigasi baru bahkan sampai luar jawa sehingga berpotensi membuka petak-petak sawah baru dan modernisasi pertanian yang digalakkan oleh rezim pemerintahan Orde Baru secara besar-besaran. Jika dilihat sekilas, laporan tersebut dapat menjadi sebuah aspirin dari issue masalah pangan. Tapi apakah dari program-program tersebut tidak memunculkan suatu masalah?

Dalam setiap kebijakan yang dibuat kemudian dijalankan maka akan selalu terdapat kritik-kritik terhadap anomali-anomali yang muncul dari program tersebut. Hal tersebut, jika dalam bahasa politik dikatakan sebagai partai-partai oposisi yang memberikan check and balance terhadap program tersebut namun tidak berusaha menjatuhkan seperti dalam pentas politik sesungguhnya. Oleh karena itu, dalam tulisan ini berusaha melihat bagaimana meningkatnya produksi beras akibat dari intensifikasi padi dan apakah hal tersebut merubah cara hidup petani pedesaan? Dalam tulisan ini mengambil contoh sebuah desa di Yogyakarta.

Eksternalitas : Sebuah Suplesi

            Tirtonirmolo adalah sebuah desa yang berada di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Tirtonirmolo secara letak geografis mempunyai wilayah yang datar, dan secara topografi berkarakteristik dataran rendah (flat). Dataran Tirtonirmolo berada pada ketinggian 80 meter diatas permukaan laut, dengan banyaknya curah hujan rata-rata 11,658 mm/tahun, dan suhu udara rata-rata 24° C sampai dengan 32° C. Sesuai dengan kandungan nama “tirtonirmolo” yang mempunyai arti daerah dengan tanah yang subur. Tanah yang subur disini selain dipengaruhi kepercayaan akan nama “tirtonirmolo”, juga dipengaruhi tektur tanahnya. Daerah Bantul, yang lahan sawahnya termasuk jenis tanah regosol merupakan lahan yang memiliki produktivitas tinggi.

Desa Tirtonirmolo memiliki luas wilayah 513 Ha. Luas wilayah ini tetap dari dahulu berdirinya tahun 1946 sampai sekarang dengan status pemilikan tanah secara umum, yakni tanah desa dan tanah privat.  Dalam hal ini, status tanah dalam pengertian pemanfaatan atau penggunaan dibagi menjadi tiga, yaitu sawah, tegal, dan pekarangan. Sawah sangat penting di dalam hubungannnya dengan masyarakat Desa Tirtonirmolo karena sebagian besar penduduk desa merupakan rumah tangga pertanian. Akan tetapi tidak seperti daerah-daerah Kabupaten Bantul bagian selatan, tegalan di desa Tirtonirmolo tidak mempunyai pengaruh yang besar dikarenakan luas tegal yang kecil. Walaupun tergolong memiliki sawah yang subur, namun tanpa ditunjang adanya irigasi yang baik, sawah tersebut tidak akan optimal di dalam fungsinya sebagai alat produksi.

Irigasi di Desa Tirtonirmolo telah terbentuk sejak penjajahan Belanda karena daerah ini dulunya merupakan daerah gula dengan adanya bekas pabrik gula Padokan yang kini menjadi pabrik gula Madukismo. Menurut Geertz, bahwa untuk daerah gula secara proporsi memiliki : (1) lebih banyak sawah; (2) lebih banyak penduduk; (3) meskipun banyak sawahnya yang ditanami tebu, namun produksi berasnya lebih besar daripada produksi beras yang bukan daerah gula.[7] Produksi beras yang lebih besar ini dikarenakan adanya jaringan irigasi yang dibangun oleh pabrik gula. Sebenarnya, jaringan irigasi dibangun oleh pemerintah Kolonial Belanda hanya untuk kepentingan gula sebagai tanaman komersial. Namun, karena industri gula membutuhkan tenaga kerja kerja yang lebih sehingga daerah tersebut menjadi konsentrasi penduduk. Oleh karena itu, lahan sawah yang dikatakan lebih banyak tersebut juga harus ditanami padi untuk kebutuhan hidup penduduk yang ada di dalamnya dan penanaman padi-pun lebih intensif karena terdapat suplai irigasi yang tetap setelah digunakan untuk kepentingan industry.

Lepas dari sejarah jaringan irigasi, pada tahun 1955, atas prakarsa Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan manifestasi dari diversifikasi usaha Yayasan Kredit Tani (Yakti) maka dibangunlah pabrik gula Madukismo yang terletak di Desa Tirtonirmolo. Pertimbangan pembangunan pabrik di Desa Tirtonirmolo berdasarkan pada beberapa hal, diantaranya (1) terletak diantara dua aliran sungai, yaitu Sungai Bedog dan Winanga, sehingga mudah mendapatkan air injeksi selama giling apabila dibuatkan pompa air, dan (2) perluasan kompleks pabrik masih dimungkinkan, karena bekas P.G. Padokan dikelilingi oleh tanah persawahan.[8] Dalam pembangunannya, pabrik ini membutuhkan areal untuk kompleks pembangunan pabrik adalah 269.410 m2, sebagian berasal dari tanah bekas P.G. Padokan seluas 90.650 m2 sedang sisanya 178.760 m2 diperoleh dengan membeli tanah sawah milik penduduk sekitarnya.[9]

Pengkonversian lahan sawah menjadi komplek pabrik gula Madukismo ini dalam konteks irigasi dapat dikatakan sebagai sebuah wujud “eksternalitas”. Eksternalitas dalam irigasi biasanya diartikan sebagai faktor-faktor yang menurunkan kemampuan irigasi. Atau faktor-faktor eksternal yang menurunkan kinerja irigasi dan dinyatakan oleh derajat serangan yang menyebabkan penurunan kinerja dengan tolok ukur rendah, sedang, tinggi, dan peluang mengatasinya.[10] Akan tetapi, dalam tulisan ini eksternalitas diartikan sebagai sebuah faktor yang meningkat ketersediaan dan memberikan sebuah suplesi (tambahan) air irigasi.

Eksternalitas tersebut tergambar dalam penjelasan berikut ini, yaitu sumber air untuk kepentingan dalam pabrik gula Madukismo mengambil dari Sungai Winongo yang di suplesi dari Selokan Mataram. Kebijakan penggunaan suplesi ini untuk menjaga ketersediaan air. Jika tanpa suplesi, maka debit air sungai winongo hanya cukup untuk kebutuhan persawahan masyarakat tani. Alur suplesi ini bermula dari selokan Mataram kemudian masuk ke Bendung Tanjung dan digunakan untuk irigasi masyarakat. Setelah digunakan untuk irigasi persawahan, limpahan air masuk ke sungai winongo, di tampung oleh rumah pompa Jogonalan kemudian disaring dan disalurkan ke dalam pabrik guna menunjang proses produksi. Jika debit limpahan yang ada di sungai Winongo lebih maka diambil oleh Bendung Merdiko. Dengan demikian, ketersediaan irigasi dapat diatasi tanpa mengganggu kondisi air yang ada di masyarakat. Bahkan jika musim guling, sawah yang berada di belakang (selatan) pabrik gula mendapatkan tambahan irigasi dari limbah pabrik gula yang mengandung tetes tebu dan blotong yang menyuburkan tanaman sehingga dapat meningkatkan produksi.

Sejarah : Sebuah Prestasi Yang Subsistensi

Adanya suplesi yang dimunculkan dari ekternalitas di atas membuat sawah Desa Tirtonirmolo “tergenang” air hampir sepanjang tahun. Sehingga eksploitasi terhadap lahan-pun tidak pernah berhenti karena alasan tidak adanya air. Lebih dari itu, pengusahaan tanaman padi dapat dilakukan setahun penuh dengan tanaman tebu sebagai rotasi dengan sistem glebagan.

Selain irigasi, program pemerintah, seperti Bimas dan Inmas juga berjalan di Desa Tirtonirmolo.[11] Dengan demikian, intervensi program-program pemerintah dalam modernisasi pertanian juga mempunyai pengaruh di dalam meningkatnya produktivitas sawah. Pada tahun 1979, petani Desa Tirtonirmolo pernah mendapatkan penghargaan nasional dari lomba Insus Pertanian dalam hal produksi padi. Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah berupa peningkatan dan swasembada beras. Bahkan, hasil produksi padi mancapai ± 9 ton/Ha.

Pencapaian di atas jika di lihat dari rata-rata produksi padi per Ha di Indonesia tahun 1982, maka angka tersebut jauh di atas rata-rata sebesar 4,5 ton/Ha. Dengan kata lain, adanya eksternalitas (suplesi) dan program-program pemerintah berhasil meningkatkan hasil produksi padi. Sesuai dengan tahap keempat model Takase yang melihat perkembangaan teknologi tanaman padi dalam meningkatkan produksi, yaitu di mana air benar-benar telah cukup dan dapat dikontrol dengan sempurna, mekanisasi mulai diterapkan. Dengan demikian maka pengolahan tanah dan panen bisa dilakukan lebih cepat. Akibatnya, panen padi bisa tiga kali dalam setahun dan produksi padi per hektar per tahun meningkat lagi menjadi antara 7 dan 12 ton.[12]

Agaknya, masalah ketahanan pangan jika dilihat-lihat dapat di atasi dengan mengkombinasikan kedua faktor di atas. Namun jika lebih dicermati lagi ke dalam, lahan yang diusahakan untuk memproduksi padi per hektar tersebut dimiliki oleh beberapa orang petani. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mayoritas petani pedesaan adalah petani gurem dengan penghasilan lahan hanya cukup untuk bertahan hidup (subsisten). Pengusahaan sawah menurut pemilikan lahan pertanian (sawah) di Desa Tirtonirmolo dapat dilihat dalam tabel sederhana berikut ini[13] :

No

Pemilik Tanah

1981

1

0—0,25 Ha

974

2

0,25—0,50 Ha

53

3

0,50—ke atas Ha

22

Jika melihat tabel di atas, pengusahaan sawah berdasarkan pemilikan lahan di bawah 0,25 Ha berjumlah 974 rumah tangga atau 92,85 % dan menjadi mayoritas rumah tangga tani di Desa Tirtonirmolo. Sementara itu, berturut turut untuk kepemilikan lahan 0,25—0,50 Ha berjumlah 55 rumah tangga atau 5,24 %  dan 22 rumah tangga atau 2,1 % yang mengusahakan sawah di atas 0, 50 Ha. Dengan demikian, maka lebih dari 90 % pemilik sawah hanya mampu memproduksi padi cukup untuk keperluan makan antar musim panen dan hanya mendapatkan sedikit surplus yang cenderung tidak tentu. Selain itu, jumlah anggota keluarga juga mempengaruhi kecukupan panen dan surplus jika ada.

Dengan kata lain, prestasi yang didapatkan adalah sebuah prestasi subsistensi karena mayoritas kecilnya lahan yang dimiliki rumah tangga tani.  Pada gilirannya, produksi yang terbatas ini hanya cukup untuk konsumsi rumah tangga produsen, sehingga jarang sekali adanya distribusi ke luar yang sampai ke rumah tangga konsumen. Bahkan, petani masih memerlukan masukan pendapatan lain untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, sehingga terpaksa bekerja di luar sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan di luar pangan. Seperti, bekerja sebagai buruh industri gula, pekerja harian, pegawai negeri, pegawai swasta, tukang bangunan, buruh bangunan, dan lain sebagainya.

Tambahan lagi, subsistensi ini disebabkan oleh dua faktor, pertama faktor kultural yang berupa waris sehingga menyebabkan fragmentasi lahan. Kedua, faktor struktural, seperti kemiskinan atau kondisi ekonomi masyarakat tani, kontrol harga, masuknya pemilik modal ke desa (intervensi kapitalisme modern), serta situasi politik dan ekonomi negara yang mempunyai pengaruh besar dalam kebijakan pertanian mempunyai pengaruh untuk menciptakan sebuah kondisi struktural yang akhirnya berpengaruh pada produksi subsistensi dan fragmentasi lahan.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah terobosan kebijakan-kebijakan baru oleh Negara untuk meningkatkan produksi dan mengatasi masalah pangan. Hal ini dikarenakan, masalah pangan sangat erat kaitannya dengan petani dan pedesaan, khususnya produksi padi. Kombinasi antara dua factor, yaitu modernisasi dan irigasi menunjukkan trend positif sehingga perlu lebih diintensifkan, baik di Jawa maupun luar Jawa. Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa pengalaman penggunaan bahan kimia yang berat pada masa orde baru berdampak pada penurunan kualitas dan merusak organisme yang penting pada lahan pertanian maka diperlukan penggantian dengan bahan organik yang baik untuk lahan. Selain itu, masalah pemilikan. pengusahaan dan perlindungan tanah terhadap petani juga perlu digarisbawahi dan lebih diperhatikan. Push and Pull dari wilayah kota seringkali menjadi sebuah masalah yang tidak bisa dikontrol terutama masalah migrasi (in and out) dan ekonomi (pekerjaan). Maka dari itu, diharapkan lewat pengalaman, pengamatan, dan perjalanan (proses) sejarah dapat digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul di dalam Negara dan dijadikan sebagai sebuah fondasi di dalam penentuan kebijakan-kebijakan untuk membangun Negara. Pada hakikatnya, kumpulan wajah-wajah lokal merupakan identitas nasional. Sehingga dengan hal tersebut senantiasa “Sang Produsen” ini tetap dapat berproduksi, tidak berpindah posisi dan dapat mendistribusikan produksinya.


[1] Moh. Shohibuddin,  Metodologi Studi Agraria : Karua Terpilih Gunawan Wiradi (Bogor, Sajogyo Institute, 2009) : 105.

[2] David Lucas dkk, Pengantar Kependudukan (Yogyakarta, UGM Press, 1982) : 10.

[3] Sjamsoe’oed Sadjad, “Dari Bimas ke Desa Industri,” Prisma, No.1 2 (Desember, 1976): 67.

[4] Sjofjan Asnawi, “Peranan dan Masalah Irigasi dalam Mencapai dan Melestarikan Swasembada Beras,” Prisma, No. 2 (Februari, 1988): 7-8.

[5] Lester R. Brown dan Erik P. Eckholn dalam Effendi Pasandaran (eds), Irigasi di Indonesia: Strategi dan Pengembangan (Jakarta: LP3ES, 1991): 142.

[6] Effendi Pasandaran (eds), Irigasi di Indonesia: Strategi dan Pengembangan (Jakarta: LP3ES, 1991): 37.

[7] Clifford Geertz, Involusi Pertanian (Jakarta: Bhratara Karya Aksara., 1983): 78.

[8] Nurdiyanto, Pabrik Gula Madukismo dalam Lintas Sejarah: Study Awal tentang Industri gula (Yogyakarta: DEPDIKBUD. 1994): 103.

[9] Ir. Bambang Edi Saputro, dkk, Dinamika Lima Puluh Tahun Perjalanan PT Madubaru (Yogyakarta: PT. Madubaru, 2008): 5.

[10] Penjajagan Cepat Kondisi Pedesaan (Rapid Rural Assesment) dan Petunjuk Operasional Pengembangan Irigasi Pedesaan (Yogyakarta: Departemen Pekerjaan Umum dan Pusat Peneletian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM,1995).

[11] Buku Laporan Keadaan Pemerintahan dan Hasil Kegiatan Pembangunan Kalurahan Tirtonirmolo Tahun 1981/1982.

[12] Sjofjan Asnawi, “Peranan dan Masalah Irigasi dalam Mencapai dan Melestarikan Swasembada Beras,” Prisma, No. 2 (Februari, 1988): 6.

[13] Sensus Pertanian 1983, Kantor Statistik Kabupaten Bantul.

Tinggalkan komentar